Pekanbaru, || Pena Bhayangkara
Investigasi eksklusif Media Peduli Pendidikan ( MPP ) mengungkap praktik memprihatinkan di sejumlah sekolah di Kota Pekanbaru. Di balik dinding kelas dan simbol pendidikan sekolah yang seharusnya menjadi tempat menanamkan nilai dan ilmu, justru berlangsung praktik pungutan terselubung yang sebagian membebani siswa secara sistematis.
Dalam penelusuran selama beberapa pekan terakhir, tim investigasi menemukan pola yang hampir seragam di sejumlah sekolah: pungutan demi pungutan terus dilakukan dengan berbagai dalih mulai dari sumbangan peralatan sekolah, kipas angin, uang duka, hingga kas kelas tanpa transparansi, tanpa akuntabilitas.
Salah satu sumber internal menyebutkan bahwa sejumlah guru justru aktif mendorong siswa untuk “menyumbang” demi keperluan sekolah, dengan alasan sebagai rasa kepedulian siswa terhadap sekolah. Bahkan untuk hal-hal yang tidak bersifat mendesak atau penting juga dilakukan oleh guru tanpa mencari solusi yang dapat menghasilkan Tanpa membebani siswa dan orangtua. Yang ironisnya diduga para guru tidak mau repot dalam mengembangkan pola pikiran siswa yang kreatif dan terampil.
Dalam banyak kasus, ditemui awak media selama dilapangan. Ironisnya siswa yang sudah rutin mengumpulkan uang kas pun masih dikenakan iuran tambahan.
> “Sudah bayar uang kas tiap bulan, masih juga diminta sumbangan terus. Kita tidak tahu uang itu ke mana,” ujar seorang siswa dari salah satu sekolah di Pekanbaru, yang kami lindungi identitasnya.
Lebih jauh, investigasi menemukan bahwa tidak ada sistem pengelolaan dana yang jelas dan terstruktur. Uang kas hanya dikumpulkan dan disimpan, tanpa papan informasi penggunaan atau laporan pertanggungjawaban yang dimengerti oleh siswa. Beberapa guru bahkan memposisikan iuran sebagai “kewajiban moral” siswa, membuat banyak siswa yang enggan bertanya karena takut mendapat perlakuan diskriminatif.
Salah satu bentuk penyimpangan yang paling menonjol adalah kegagalan para guru dalam menjalankan peran edukatif secara menyeluruh. Alih-alih memanfaatkan potensi siswa untuk kegiatan produktif, diduga sebagian guru justru cenderung mengambil jalan pintas dengan terus meminta pungutan. Hal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa ada motif ekonomi di balik praktik ini.
Minimnya Pengawasan
Kepala sekolah dan instansi terkait nyaris tidak menunjukkan langkah konkret dalam mengawasi dan menindak praktik-praktik semacam ini. Ketiadaan inspeksi mendadak, lemahnya evaluasi internal, serta absennya saluran pengaduan efektif membuat praktik pungutan disekolah terus berlangsung tanpa hambatan. Sehingga kata guru tanpa jasa terlupakan.
Padahal, pemerintah pusat dan daerah telah menggelontorkan berbagai bantuan untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar, termasuk dana BOS dan insentif guru demi memberikan kesejahteraan para guru. Hal ini dilakukan pemerintah agar guru dapat melakukan pekerjaannya secara tenang, profesional dan kreatif.
Dengan berbagai fasilitas dan kesejahteraan yang telah diberikan pemerintah seharusnya tidak ada alasan bagi oknum pendidik untuk menekan siswa dengan dalih kebutuhan sekolah dan kenyamanan siswa. Berkarya dengan keterampilan siswa dapat memenuhi apa yang dibutuhkan.
Kesimpulan Sementara
Investigasi ini menunjukkan adanya dugaan pelanggaran sistematis di lingkungan pendidikan, dengan aktor utama sebagian oknum guru yang menyalahgunakan posisi mereka. Praktik-praktik semacam ini bukan hanya mencederai hak siswa untuk mendapatkan pendidikan yang bersih dan adil, tapi juga mencoreng nama profesi guru secara keseluruhan.
Media Peduli Pendidikan akan terus menelusuri lebih jauh, termasuk kemungkinan adanya jaringan oknum yang melibatkan pihak kepala sekolah atau pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan. Data dan temuan tambahan akan dipublikasikan dalam seri lanjutan laporan ini. Bersambung... ( Tim)